Sambil membalik halaman novel yang dibacanya, Vio mendesah menatap lembaran soal matematika di hadapannya. Sejak bel istirahat selesai, Vio sudah berada di perpustakaan selama hampir satu jam pelajaran tapi belum ada satu soal pun yang sudah dia selesaikan.
“Vio?” Vio menoleh dan mendapati Fian mendekati mejanya.
“Kok jam segini ada di perpus?” tanya Fian sambil mendudukkan diri di samping Vio.
“Oh”, Vio meletakkan novelnya,”Jam pelajaran matematika kelasku kosong, makanya aku ke perpus buat ngerjain tugasnya”
Fian melirik lembar tugas di depan Vio,”Tapi kayaknya tugasmu belum selesai”
Vio tersipu malu,”Kebiasaan nih kalo di perpus, pasti jadi keasikan mbaca daripada ngerjain tugas”
‘TEEET!’
“Ah, udah ganti jam”, Fian melirik jam tangannya,”Kelasku di laboratorium biologi nih, kelasmu?”
“Matematikanya dua jam, jadi masih ada satu jam kosong”
Fian berdiri dan mengembalikan kursinya ke tempat semula,”Aku masuk kelas dulu ya”.
Vio mengangguk dan kembali menekuni novelnya. Sedetik kemudian dia teringat akan tugas matematikanya. Setelah agak lama berpikir, Vio meletakkan novelnya dan lebih memilih untuk mengerjakan tugasnya.
“Uh, baru soal nomor satu aja susahnya begini”, gerutu Vio dalam hati.
Sambil menguap, dengan malas ditekurinya angka-angka dan rumus yang tertera. Vio berusaha membuat dirinya terjaga dengan menepuk-nepuk pipinya sendiri sambil merutuki dirinya yang tiba-tiba mengantuk.
***
Dahi Vio mengernyit saat mengerjakan soal matematikanya yang terakhir. Vio merasa pernah mengerjakan soal tersebut tapi entah kenapa Vio tidak bisa mengingat satu huruf pun dari rumusnya. Tak sengaja ekor matanya menangkap plang kayu yang menunjukkan letak rak buku matematika.
Vio bangkit dari kursinya dan dengan enggan mencari-cari buku paket matematika yang dia akan dia gunakan untuk menyelesaikan soal terakhir. Semakin cepat dia menemukannya, semakin cepat tugasnya selesai.
“Hng?”
Vio mendekati rak yang berada di samping rak buku matematika. Dari sampul dan judul buku yang ada, Vio berkesimpulan bahwa rak itu berkategorikan sastra klasik. Sambil membawa buku matematika yang sudah ditemukannya, iseng-iseng Vio melihat satu per satu buku yang ada.
Setelah beberapa lama melihat-lihat, Vio berniat kembali ke mejanya untuk melanjutkan tugasnya. Tapi baru beberapa langkah dia berjalan, matanya menangkap satu buku yang menarik perhatiannya. Pelan-pelan diambilnya buku tersebut.
Warnanya yang tua dan bentuk bukunya yang unik mengingatkan Vio pada buku-buku ajaib yang sering muncul di komik-komik. Vio semakin heran saat dilihatnya buku itu tidak memiliki judul.
“Aneh”, batin Vio sambil mengelus-elus pinggiran buku yang ternyata memiliki ukiran indah. Rasa ketertarikannya membuat Vio ingin membuka-buka buku tersebut.
Karena dirasa mengganggu, Vio meletakkan buku matematika yang telah ditemukkannya ke rak buku terdekat. Dibukanya perlahan-lahan buku tersebut dengan penuh rasa ingin tahu.
“Kekuatan melihat? Kekuatan mencipta?”
Vio membacanya sekilas dan beralih ke halaman lain.
“Kekuatan mengendalikan?”
Mata Vio berbinar-binar saat membaca isi buku tersebut. Buku tersebut seolah mengingatkannya pada buku yang menjelaskan tentang makhluk-makhluk aneh di dunia Harry Potter. Bedanya, buku ini menjelaskan tentang bermacam-macam kekuatan.
“Ada kekuatan yang mirip Avatar”, pikir Vio saat membaca beberapa halaman.
Vio kembali ke tiga halaman terdepan yang menjelaskan tentang kekuatan melihat, mencipta dan mengendalikan. Rasa penasarannya memuncak saat menyadari bahwa ketiga judul itu terlihat lebih istimewa dibanding judul-judul lainnya.
“Pengembara yang tersesat mencari jalannya. Selamatkan jiwa-jiwa yang terpencar sebelum terbelenggu para pengendali”
Dua kalimat yang barusan dibacanya disebutkan sebagai kunci menuju pintu pengendalian, yang merupakan satu dari tiga kekuatan terbaik dalam buku tersebut. Vio membacanya dengan senyum kecil.
“Pemilik kekuatan ini hanya perlu mengonsentrasikan pikirannya pada suatu benda untuk mengendalikannya”
Vio mengangguk-angguk dan melirik globe yang ada di atas lemari perpustakaan, tepat di dekat mejanya tadi. Meski menyadari bahwa hal tersebut tak mungkin terjadi, Vio dengan iseng mengonsentrasikan pikirannya pada globe itu supaya berputar.
‘WHURR! WHURR!’
Buku yang dipegang Vio seketika terjatuh. Dengan gugup Vio memperhatikan globe yang masih berputar tersebut. Dalam keadaan bingung dan kaget, Vio segera mengembalikan buku aneh tersebut ke tempatnya dan berlari ke mejanya setelah mengambil buku matematikanya.
Masih dengan dada berdegup kencang, Vio memandang sekeliling. Sepertinya tidak ada yang menyadari berputarnya globe tersebut secara tiba-tiba. Vio mengatur nafasnya yang tersengal dan merebahkan kepalanya ke atas meja. Novel dan tugasnya terlupakan seketika.
Vio melirik tempat pensilnya yang terdorong jauh ke ujung meja saat dia merebahkan kepalanya. Saat hendak mengambilnya, Vio teringat akan kejadian globe barusan.
“Jangan-jangan…”, Vio mencoba untuk memusatkan perhatiannya pada tempat pensilnya.
Tak sampai beberapa detik kemudian, tempat pensil tersebut bergeser perlahan-lahan mendekatinya. Vio bahkan tidak perlu mengeluarkan tenaganya untuk mengambil tempat pensil tersebut!
Vio menyentuh tempat pensilnya dengan pandangan tak percaya. Untuk menegaskan kembali keyakinannya, Vio kembali mencoba kemampuan barunya tersebut pada rak buku di dekatnya. Tepat setelah Vio memusatkan konsentrasinya, satu persatu buku yang ada di atas rak muncul sedikit demi sedikit.
Vio melihat ke lemari di belakangnya yang memuat globe tadi. Dicobanya sekali lagi memutar globe tersebut. Berhasil!
“Uh-oh!”
Sepertinya karena terlalu kencang berputar, globe itu bergeser dan jatuh dari lemari. Vio yang tepat berada di bawahnya hanya mampu terdiam tanpa sempat menghindar. Dan tiba-tiba semua menjadi gelap.
***
“Vi! Vio!”
Vio mengerjap dan mendapati Fian berada di sampingnya.
“F-Fian?” Vio mengucek matanya dan memandang sekeliling. Tinggal beberapa anak yang ada di perpus dan sepertinya sudah bersiap mau pulang.
“Kamu masih disini? Perpustakaan udah mau tutup lho”.
Vio tercengang dan memandang kedua tangannya.
“Ada apa, Vi?” Fian bertanya cemas,”Kamu mimpi buruk?”
“Eh?” Vio menoleh dan memandang kaget.
“Barusan kamu tidur nyenyak banget”, Fian menatap Vio sambil tersenyum ringan.
“Aku.. tidur?” setengah tidak percaya Vio memandang tempat pensil dan globe di atas lemari,”Jadi.. aku mimpi?”
Fian memandang Vio bingung,”Aku tadi mau pulang tapi lihat di loker perpustakaan masih ada tasmu. Jadi, aku pikir kamu masih di dalam, eh, ternyata bener, lagi tidur pula”
Vio membereskan barang-barangnya dan dengan cepat bangkit dari kursinya.
“Mau kemana, Vi?” tanya Fian kaget.
“Sebentar”, dengan langkah yang sedikit sempoyongan, Vio menghampiri rak bagian sastra klasik.
Vio menelusuri rak buku tersebut dan mencari-cari buku aneh tentang kekuatan yang ditemukannya di dalam mimpi. Ditelitinya satu persatu, tapi Vio tak menemukannya!
“Ada apa sih, Vi?” tanya Fian heran.
Vio tersenyum samar,”Nggak pa-pa, cuma ngecek buku kok”
Setelah membawa seluruh barang-barangnya, Vio melangkah keluar perpustakaan ditemani Fian. Vio berusaha memarahi dirinya sendiri yang berharap bahwa kemampuan pengendalian itu bukan hanya sekadar mimpi.
“Kamu nggak pa-pa?” Fian bertanya cemas,”MImpimu tadi bener-bener buruk po?”
Vio menggeleng pelan,”Nggak kok. Nggak seburuk itu”
‘PLUK!’
Saat Vio memasukkan barang-barangnya ke dalam tas, satu pensil meluncur jatuh dari saku tasnya. Vio mendesah mendapati pensilnya jatuh dan menggelinding agak jauh. Andai saja kekuatan itu benar-benar nyata, saat ini Vio tidak perlu mengeluarkan tenaga sedikitpun.
Vio memandang pensil tersebut dan dengan sia-sia berusaha menariknya mendekat.
‘ZRUUT’ ‘ZRUUT’
Pensilnya bergerak, tepat menuju ke arahnya. Vio tercengang. Itu tadi memang mimpi, tapi kekuatannya nyata!
***
Vio pulang ke rumah dengan perasaan kacau. Saat dia hendak membuka pintu kamarnya, pintunya sudah terbuka belum dia sempat menyentuhnya. Dan Vio yakin seratus persen pintu itu terbuka karena dia sempat menatap pintu itu dengan sedikit berharap –supaya pintu itu terbuka dengan sendirinya, tentu saja.
Setelah mengunci pintu, Vio memandang seisi kamarnya dengan dada berdegup kencang.
‘SYUUT’
Sisir yang tadinya berada di atas meja rias melayang dan mendekat ke arahnya. Vio menyentuh sisir itu dan menggunakannya untuk merapikan rambutnya yang berantakan.
Sambil menyisir rambut, Vio memandangi dirinya di cermin. Mau tak mau, Vio tidak bisa memungkiri bahwa semua yang terjadi hari ini adalah kenyataan. Vio yang sekarang berbeda dari Vio yang sebelumnya.
Mulai hari ini, Vio adalah sang pengendali.
***
“Ada apa, Fi?”
Fian yang sedang menikmati suasana pagi di perpustakaan menoleh dan mendapati Vio mendekatinya dengan muka kusut. Semalaman Vio begadang mencoba-coba kemampuan pengendaliannya.
“Kamu nerima smsku semalam kan?”
Vio mengangguk. Semalam Fian menanyai kabarnya lewat sms. Sepertinya Fian menyadari ada yang tak beres dengan diri Vio sejak dari perpustakaan. Wajar saja Fian menyadarinya, Vio dan Fian bertetangga dan sudah berteman sejak kecil. Satu sama lain sudah sama-sama tahu watak masing-masing.
“Terus?” Fian bertanya cemas,”Kamu sih, tambah bikin aku penasaran. Telepon di hape di reject, telpon ke rumah juga ngakunya tidur”
Vio mendesah dan memandang Fian cukup lama. Menimbang-nimbang apakah dia harus menceritakan kemampuan barunya pada Fian.
“Tunggu sebentar”, Vio meninggalkan Fian duduk sendiri dan kembali mendekati rak bagian sastra klasik. Masih berusaha mencari buku aneh tersebut. Nihil.
“Kenapa, sih?” Fian semakin penasaran,”Dari kemarin kamu selalu ke rak itu buat nyari-nyari sesuatu”
Vio menarik sebuah kursi di samping Fian dan berusaha menyamankan dirinya,”Tapi janji, ini rahasia”
Fian mengangguk mantap. Dia selalu suka berbagi rahasia dengan Vio sejak kecil.
“Dan jangan kaget”, Vio menatap Fian tajam. Begitu menemukan sinar kesungguhan di dalam bola mata Fian, Vio akhirnya memutuskan untuk bercerita.
“Sungguhan?” mata Fian melebar. Fian melirik pada rak buku sastra klasik dengan sorot ingin tahu.
Vio menghembuskan nafas panjang,”Nggak percaya?”
Fian melirik sekeliling dan mendapati bahwa hanya ada mereka berdua di perpustakaan itu. Mbak Fitri, petugas perpustakaan, masih membereskan barang-barangnya di ruangan karyawan. Dilihatnya jam dinding dan didapatinya masih ada waktu kurang lebih tiga puluh menit sebelum bel masuk sekolah berbunyi.
Vio melirik Fian dan mendesah,”Mumpung cuma ada kita berdua”
Fian memiringkan kepala tanda heran saat Vio bertanya buku apa yang ingin Fian baca.
“Itu, National Geographic edisi bulan ini”, Fian menunjuk rak majalah,”Kelihatan kan dari sini?”
Vio mengangguk dan memandang buku yang ditunjuk Fian. Sedetik kemudian, buku itu perlahan keluar dari barisannya di rak melayang pelan ke arah Fian.
“Wh-whoaa”, mata Fian berbinar saat akhirnya National Geographic yang tadi ditunjuknya jatuh melayang pelan di hadapannya.
“K-keren banget, Vi!” Fian menyentuh buku itu dengan pandangan kagum.
“Dan tadi kamu bilang di dalam buku itu masih banyak kekuatan lain?”
Vio mengangguk,”Dan secara nggak sengaja aku malah mbaca yang bagian tiga kekuatan terbesar”
Dahi Fian berkerut,”Tunggu! Berarti masih ada dua kekuatan besar lagi yang menunggu untuk diaktifkan”
Vio mengulum senyum saat mendengar kata ‘diaktifkan’ dari mulut Fian. Sama sepertinya, selera Fian dalam bacaan maupun film tak jauh berbeda. Yang menjadi perbedaan besar di antara mereka adalah, Fian si jenius ranking sepuluh besar di sekolah dan Vio hanyalah murid dengan nilai rata-rata.
“Dan masih banyak kekuatan-kekuatan kecil”.
“Dua kekuatan besar lainnya yang kamu bilang tadi..”, Fian menghitung,”Kekuatan melihat dan mencipta”
Vio mengangguk.
“Lalu kekuatan kecil lainnya?”
Vio berusaha mengingat-ingat,”Ada beberapa yang sempat aku baca. Kalau anggapanku sih, kekuatan yang kecil itu lebih spesifik, sedangkan kekuatan yang besar bener-bener bisa utuh”
Fian penasaran,”Contoh?”
“Hemm”, Vio berpikir sejenak,”Kekuatanku untuk mengendalikan. Dan pengendalian ini nggak ada batasan. Tadi malem aku sempet menganalisis kemampuan ini dan aku sadar..”
“Apa?” dada Fian tiba-tiba berdebar-debar saat Vio memelankan suaranya.
“Aku..”, suara Vio tertahan,”juga bisa mengendalikan tubuh manusia”
Fian menutup mulutnya sendiri yang ternganga,”K-kalau kekuatan yang kecil gimana contohnya?”
Melihat tanggapan Fian, Vio lega teman masa kecilnya itu tidak seheboh dugaannya,”Aku mbaca bagian kekuatan air. Pas mbaca yang bagian itu, aku langsung inget Avatar. Soalnya kekuatan air ya cuma bisa dilakukan dengan objek air. Gitu”
Tiba-tiba Fian tercengang,”Berarti dua kekuatan besar yang lain..”
“Kekuatan melihat..”, Vio menyebutkan satu.
“Bisa melihat tembus pandang”, Fian menerka-nerka,”Melihat jarak jauh”
“Lebih dari itu”, Vio memutus kalimat Fian,”Orang dengan kemampuan melihat ini, dia bisa melihat masa depan dan masa lalu sekaligus”
Fian kembali ternganga,”Jangan-jangan, orang yang punya kemampuan mencipta..”
“Dia bisa menciptakan apapun dari benda apapun”, Vio mengangguk pelan,”Semacam alchemist di Full Metal Alchemist”
Vio menyebutkan salah satu komik kesukaan mereka berdua. Komik yang menceritakan petualangan Elric Bersaudara dengan kemampuan alchemist mereka. Kemampuan untuk membentuk suatu benda dengan benda lain dengan persyaratan unsur yang ada –misalnya saja untuk membentuk meriam dari lantai beton, si alchemist harus menukar unsur di dalam beton untuk diubah menjadi unsur penyusun meriam. Kurang lebih begitu lah.
“Menciptakan.. apapun?” Fian memandang Vio dengan tatapan terkejut
“Termasuk menciptakan..”, tenggorokan Fian tertahan,”manusia?”
Tiba-tiba Vio merasakan sensasi merinding yang luar biasa.
***
“Ini semua terlalu menakutkan”, Vio menggumam pelan. Fian yang samar-samar mendengar gumamannya menoleh.
Dari terminal mereka harus mengambil angkot yang akan menurunkan mereka di depan gang kompleks tempat tinggal mereka. Saat ini mereka sedang duduk di bawah pohon menunggu datangnya angkot.
Fian tersenyum dan menepuk bahu Vio,”Tenang saja”
“Tapi, Fi..”
“Oh!” Fian menoleh dan melihat dari kejauhan sebuah angkot berwarna kuning mendekat,”Angkotnya dateng tuh!”
Vio menelan ludah. Kalimatnya yang tadi siap keluar kini menggantung di udara. Dibiarkannya Fian menarik tangannya masuk ke angkot. Vio terlalu lemah di saat seperti ini.
***
“Vi”, Fian memanggil Vio sebelum akhirnya mereka berpisah menuju rumah masing-masing.
Vio menoleh dengan tatapan kosong. Fian tahu, sejak pembicaran mereka di perpustakaan tentang dua kekuatan besar yang lain, Vio menjadi sedikit murung. Mau tak mau, Fian harus mengakui bahwa kenyataan yang Vio hadapi begitu berat.
Fian mendekati Vio dan berbicara dengan nada menyejukkan,”Kamu masih inget film Spiderman yang pertama?”
Vio menatap Fian dengan pandangan tak mengerti. Fian hanya tersenyum kecil dan menepuk pelan kepala Vio. Fian tahu, di saat seperti ini dia harus menghibur Vio.
“Masih inget nggak, kata-kata Paman Ben di detik-detik sebelum dia mati? Kalimat yang diucapin ke Peter Parker”
Kedua alis Vio bertautan, mencoba mengingat-ingat,”Apa sih? Aku lupa”
Fian mengambil nafas,”Kekuatan yang besar, pasti memiliki tanggung jawab yang besar pula”
”Tapi, aku masih nggak ngerti maksudmu..”
Fian berusaha menjelaskan dengan cara yang mudah dimengerti,”Itu lho, kayak Aang. Dia Avatar, bisa mengendalikan empat elemen sekaligus, karena itulah dia punya kewajiban untuk menjaga perdamaian dunia. Kekuatannya besar, tanggung jawabnya besar juga”
Vio mengangguk mengerti.
***
“Fian!” Vio melambaikan tangannya memanggil Fian dari ujung lorong kelas.
Fian berlari mendekat,”Ada apa, Vi?”
“Hari ini aku mau pulang cepet, ada urusan keluarga di rumah nenek”, Vio memandang Fian dengan pandangan tak rela,”Jadi aku nggak bisa pulang bareng”
Fian tersenyum,”Oh, nggak papa. Aku juga masih ada kegiatan klub kok”
Vio tersenyum sedih, merasa kesepian. Sejak punya kekuatan itu, Vio jadi lebih sering pulang bersama dengan Fian karena hanya Fianlah yang mengetahui semuanya.
***
Fian bohong. Hari ini manajer klubnya mengganti jadwal latihan karena pertandingan sepak bola terdekat diundur. Hari ini Fian berencana mencari informasi tentang buku aneh yang ditemukan Vio di dalam mimpinya. Fian yang langsung menuju rak buku sastra klasik.
Dengan mata kian memicing, Fian memeriksa satu per satu buku yang ada. Diingatnya kembali ciri-ciri buku tersebut dari cerita Vio dan ditelitinya satu per satu. Tidak ada. Buku yang mendekati ciri-cirinya pun tidak ada!
Fian berjalan mendekati meja dan terduduk lemas. Fian tak bisa membayangkan tekanan yang diterima Vio. Bayangkan saja, dengan pengandaian mitologi dewa-dewa, Vio seolah menjelma menjadi Poseidon di antara tiga dewa terkuat, Poseidon, Hades, dan Zeus! Dan membayangkan bahwa kelak ada orang di luar sana yang akan menjadi Hades dan Zeus sudah cukup membuat bulu kuduk Fian merinding.
“O-oaahm”, Fian tiba-tiba mengantuk.
***
Fian bangkit dari kursinya dan sekali lagi menuju rak buku sastra klasik sebelum akhirnya pulang. Ekor mata Fian tiba-tiba menangkap sesosok buku yang berbeda.
“Ini!” Fian terkejut dan membuka buku tersebut, Sama persis dengan yang diceritakan oleh Vio!
Fian membaca tiga halaman terdepan dengan gugup. Masih ada dua kekuatan yang tertidur dan membutuhkan pengendalinya. Fian menarik nafas panjang dan memantapkan niatnya. Sejak awal tujuan Fian menemukan buku ini adalah untuk menguasai salah satu kekuatannya, menemani Vio yang tertekan sendirian.
“Setidaknya aku bisa sama-sama menanggung tekanan yang sama dengan Vio”, batin Fian dalam hati. Belakangan ini, Fian sadar bahwa perasaannya terhadap Vio bukan lagi persaan seorang sahabat, melainkan perasaan yang lain, jatuh cinta!
Dan Fian pun ingin melindungi Vio dengan sepenuh hati.
“Mata ketiga yang tertidur bersembunyi di balik kabut. Pemandu yang buta terbangun karena lintasan cahaya”
***
Fian terbangun dan mendapati dirinya masih berada di perpustakaan. Kejadian ini sama seperti yang dialami Vio saat mendapatkan kekuatannya!
Dengan takut-takut Fian memejamkan matanya dan membuka matanya perlahan. Dilihatnya komputer dengan konsentrasi penuh, dan tiba-tiba saja seluruh komponen yang ada di dalam komputer terlihat!
Fian tergagap dan mengucek matanya. Segera saja dia berlari menuju rak sastra klasik dan tidak menemukan apapun di sana. Benar! Vio mendapatkan kekuatannya lewat mimpi!
Fian baru saja menjadi satu dari tiga dewa besar yang ada. Sekaligus sekutu untuk Vio. Dan dia harus siap melihat apa yang belum pernah dia lihat sebelumnya.
***
“Fian!” Vio berlari mendekati Fian yang baru saja turun dari angkot.
Fian terkejut saat mendapati Vio menunggunya di ujung gang.
“Kamu nunggu daritadi?” tanya Fian cemas.
Vio mengangguk,”Habisnya aku mau lapor ke kamu!”
Fian menoleh cepat,”Lapor apa?”
Vio meringis,”Kan kamu pernah bilang soal tanggung jawab besar kan?”
Fian mengangguk. Mereka menereuskan pembicaraan mereka sambil berjalan.
“Aku udah coba konsentrasi, tapi aku sama sekali nggak menemukan apapun!” pipi Vio menggembung kesal,”Nggak ada Avatar Roku yang dateng ke mimpi kayak Aang, nggak ada Hagrid yang dateng njemput kayak Harry Potter, nggak ada sesuatu yang dateng ke aku, Fi!”
Fian mendesah pelan,”Kenapa kamu berharap tanggung jawab itu datang dalam bentuk kayak gitu, sih”
Vio meringis. Fian menggenggam tangan Vio dengan gemetar dan berbisik,”Aku tahu apa yang harus jadi tanggung jawabnya”
Vio memandang Fian tak mengerti,”Maksud kamu? Kamu tahu apa?”
Fian menoleh dan melihat seorang anak menaiki sepeda,”Kamu lihat anak itu? Yang main sepeda itu”
Vio mengangguk.
“Sepuluh detik lagi anak itu kepleset batu dan jatuh”
‘BRAAAK!’
Vio terkejut dan berjengit,”A-apa? K-kok kamu bisa tau?”
Vio menatap Fian dengan pandangan tidak mengerti dan seolah teringat sesuatu,”Ja-jangan bilang kalo kamu..”
“Iya, Vi”, Fian menggenggam tangan Vio,”Aku.. bisa ‘melihat’”
Mulut Vio ternganga,”Dan, tadi, kamu bilang kamu tau tanggung jawab kita?”
Fian mengangguk pelan,”Karena aku bisa melihat apa yang nggak bisa dilihat di buku itu, iya, aku tau tanggung jawab kita apa”
Vio mengguncang bahu Fian,”Apa, Fi? Apa?”
“Kita..”, suara Fian melemah,”Harus menjaga supaya kekuatan mencipta tetap tersegel dan tidak disalah gunakan”
Vio heran,”Hanya itu?”
Fian mengangguk,”Iya. Tapi..”
“Tapi apa?” tanya Vio cemas.
“Kita udah terlambat”
Vio tercekat,”Maksudnya?”
“Seseorang..”, tenggorokan Fian semakin kering,”Sudah ada yang mengendalikannya”
“Dan?” mata Vio membulat ngeri.
“Kita harus siap”
“Si-siap?”
“Untuk berhadapan dengannya sewaktu-waktu”
Vio memandang Fian diam. Keduanya kemudian membisu begitu lama. Hari ini terlalu banyak hal yang terjadi dan terlalu banyak informasi yang tiba-tiba datang.
“Fi”, Vio turut menggenggam tangan Fian,”Makasih ya”
“Eh?” Fian bertanya heran,”K-kenapa?”
“Kamu sampai berusaha untuk mendapatkan satu dari dua kekuatan besar itu, pasti kamu lakuin itu karena aku, kan?”
Fian diam tak menjawab.
“Mulai sekarang”, Vio menatap lurus ke dalam mata Fian,”Mohon kerja samanya ya, Mata Ketiga”
Fian tersenyum kecil,”Mohon kerja samanya juga, Nona Pengendali”
Vio dan Fian kemudian berjalan beriringan menuju rumah masing-masing. Mereka tahu bahwa masih ada banyak hal lagi yang akan menanti di hadapan mereka. Tapi saat itu semua terjadi, mereka berdua yakin bahwa mereka pasti sudah siap menghadapinya.
—